Hajir Marawis Masjid Baitussalam

Hajir Marawis Masjid Baitussalam
foto saat tampil

Minggu, 21 Maret 2010

manaqib imam haddad

( Abdullah > Alwi > Muhammad > Ahmad > Abdullah > Muhammad > Alwi > Ahmad Al-Haddad > Abubakar > Ahmad Al-Musrafah > Muhammad > Abdullah > Ahmad Al-Faqih > Abdurrahman > Alwi ’Ammil Faqih > Muhammad Shohib Mirbath > Ali Khali' Qasam > Alwi > Muhammad > Alwi > Ubaidillah > Ahmad AlMuhajir > Isa Ar-Rumi > Muhammad An-Naqib > Ali Al-'Uraidhi > Ja'far Ash-Shodiq > Muhammad Al-Baqir > Ali Zainal Abidin > Husain > Fatimah Az-Zahro > Muhammad SAW )



Habib Abdullah dilahirkan ke dunia pada malam Kamis 5 Shafar 1044 H di pinggiran kota Tarim, sebuah kota terkenal di Hadhramaut, Yaman. Beliau bermadzhab Syafi‘i. Nasabnya bersambung sampai kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib kwh, suami Fatimah binti Rasulillah.

Ayahnya, Habib Alwi bin Muhammad adalah seorang yang saleh dari keturunan orang-orang saleh. Di masa mudanya, beliau berkunjung ke kediaman Habib Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi Shôhibusy Syi‘ib untuk memohon doa, Habib Ahmad berkata, “Anak-anakmu adalah anak-anak kami juga, mereka diberkahi Allah.”

Saat itu Habib Alwi tidak mengerti maksud ucapan Habib Ahmad. Namun, setelah menikahi Salma, cucu dari Habib Ahmad bin Muhammad, Habib Alwi baru sadar bahwa rupanya perkawinan ini yang diisyaratkan oleh Habib Ahmad bin Muhammad dalam ucapannya.

Sebagaimana suaminya, Salma adalah seorang wanita yang sholihah. Dari istrinya ini, Habib Alwi mendapat putra-putri yang baik dan saleh, di antaranya adalah Abdullah.

Ketika Abdullah berusia 4 tahun, ia terserang penyakit cacar. Demikian hebat penyakit itu hingga butalah kedua matanya. Namun, musibah ini sama sekali tidak mengurangi kegigihannya dalam menuntut ilmu. Ia berhasil menghapal Quran dan menguasai berbagai ilmu agama ketika terhitung masih kanak-kanak. Rupanya Allah berkenan menggantikan penglihatan lahirnya dengan penglihatan batin, sehingga kemampuan menghapal dan daya pemahamannya sangat mengagumkan.

Abdullah sejak kecil gemar beribadah dan riyâdhoh. Nenek dan kedua orang tuanya seringkali tidak tega menyaksikan anaknya yang buta ini melakukan berbagai ibadah dan riyâdhoh. Mereka menasihati agar ia berhenti menyiksa diri. Demi menjaga perasaan keluarganya, si kecil Abdullah pun mengurangi ibadah dan riyâdhoh yang sesungguhnya amat ia gemari. Ia pun kini memiliki lebih banyak waktu untuk bermain-main dengan teman-teman sebayanya. “Subhânallôh, sungguh indah masa kanak-kanak...,” kenang beliau suatu hari.

Di kota Tarim, Abdullah tumbuh dewasa. Bekas-bekas cacar tidak tampak lagi di wajahnya. Beliau berperawakan tinggi, berdada bidang, berkulit putih, dan berwibawa. Tutur bahasanya menarik, sarat dengan mutiara ilmu dan nasihat berharga.

Beliau sangat gemar menuntut ilmu. Kegemarannya ini membuatnya sering melakukan perjalanan untuk menemui kaum ulama. Beliau ra berkata, “Apa kalian kira aku mencapai ini dengan santai? Tidak tahukah kalian bahwa aku berkeliling ke seluruh kota-kota (di Hadramaut) untuk menjumpai kaum sholihin, menuntut ilmu dan mengambil berkah dari mereka?”

Beliau juga sangat giat dalam mengajarkan ilmu dan mendidik murid-muridnya. Banyak penuntut ilmu datang untuk belajar kepadanya. Suatu hari beliau berkata, “Dahulu aku menuntut ilmu dari semua orang, kini semua orang menuntut ilmu dariku.”

“Andaikan penghuni zaman ini mau belajar dariku, tentu akan kutulis banyak buku mengenai makna ayat-ayat Quran. Namun, di hatiku ada beberapa ilmu yang tak kutemukan orang yang mau menimbanya.”

Habib Abdullah mengamati bahwa kemajuan zaman justru membuat orang-orang saleh menyembunyikan diri; membuat mereka lebih senang menyibukkan diri dengan Allah. “Zaman dahulu keadaannya baik. “Dagangan” kaum sholihin dibutuhkan masyarakat, oleh karena itu mereka menampakkan diri. Zaman ini telah rusak, masyarakat tidak membutuhkan “dagangan” mereka, karena itu mereka pun enggan menampakkan diri,” papar beliau.

Beliau sangat menyayangi kaum fakir miskin. “Andaikan aku kuasa dan mampu, tentu akan kupenuhi kebutuhan semua kaum fakir miskin. Sebab pada awalnya, agama ini ditegakkan oleh orang-orang mukmin yang lemah.”

Beliau juga berkata, “Dengan sesuap (makanan) tertolaklah berbagai bencana.”

Beliau gemar berdakwah, baik dengan lisan maupun tulisan, kemudian mencontohkannya dalam amal perbuatan. Kegemarannya berdakwah menyebabkan ia banyak bergaul dan melakukan perjalanan. “Sesungguhnya aku tidak ingin bercakap-cakap dengan masyarakat, aku juga tidak menyukai pembicaraan mereka, dan tidak peduli kepada siapa pun dari mereka. Sudah menjadi tabiat dan watakku bahwa aku tidak menyukai kemegahan dan kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di gurun Sahara. Itulah keinginanku; itulah yang kudambakan. Namun, aku menahan diri tidak melaksanakan keinginanku agar masyarakat dapat mengambil manfaat dariku.”

Keaktifannya dalam mendidik dan berdakwah membuatnya digelari Quthbud Da’wah wal Irsyâd. Beliau berkata, “Ajaklah orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat; ajaklah ahli syariat kepada tarekat (thorîqoh) dengan bahasa tarekat; ajaklah ahli tarekat kepada hakikat (haqîqoh) dengan bahasa hakikat; ajaklah ahli hakikat kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq, dan ajaklah ahlul haq kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq.”

Dalam kehidupannya, beliau juga sering mendapat gangguan dari masyarakat lingkungannya. “Kebanyakan orang jika tertimpa musibah penyakit atau lainnya, mereka tabah dan sabar; sadar bahwa itu adalah qodho dan qodar Allah. Tetapi jika diganggu orang, mereka sangat marah. Mereka lupa, bahwa gangguan-ganguan itu sebenarnya juga merupakan qodho dan qodar Allah, mereka lupa bahwa sesungguhnya Allah hendak menguji dan menyucikan jiwa mereka. Nabi saw bersabda, “Besarnya pahala tergantung pada beratnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Ia akan menguji mereka. Barang siapa ridho, ia akan memperoleh keridhoan-Nya; barang siapa tidak ridho, Allah akan murka kepadanya.”

Habib Abdullah mengetahui bahwa ada beberapa orang yang memakan hidangannya, tetapi juga memakinya. “Perbuatan mereka tidak mempengaruhi sikapku. Aku tidak marah kepada mereka, bahkan mereka kudoakan.”

Habib Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang lain, apabila beliau terpaksa harus bersikap tegas, beliau kemudian segera menghibur dan memberikan hadiah kepada orang yang ditegurnya. “Aku tak pernah melewatkan pagi dan sore dalam keadaan benci atau iri pada seseorang,” kata Habib Abdullah.

Beliau lebih suka berpegang pada hadis Nabi saw: “Orang beriman yang bergaul dengan masyarakat dan sabar menanggung gangguannya, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak pula sabar menghadapi gangguannya.”

Beliau menulis dalam syairnya:

Bila Allah mengujimu, bersabarlah

karena itu hak-Nya atas dirimu.

Dan bila Ia memberimu nikmat, bersyukurlah.

Siapa pun mengenal dunia, pasti akan yakin

bahwa dunia tak syak lagi

adalah tempat kesengsaraan dan kesulitan.

Habib Abdullah tidak menyukai kemasyhuran atau kemegahan, beliau juga tidak suka dipuji. “Banyak orang membuat syair-syair untuk memujiku. Sesungguhnya aku hendak mencegah mereka, tetapi aku khawatir tidak ikhlas dalam berbuat demikian. Jadi, kubiarkan mereka berbuat sekehendaknya. Dalam hal ini aku lebih suka meneladani Nabi saw, karena beliau pun tidak melarang ketika sahabatnya membacakan syair-syair pujian kepadanya.”

Suatu hari beliau berkata kepada orang yang melantunkan qoshidah pujian untuk beliau, “Aku tidak keberatan dengan semua pujian ini. Yang ada padaku telah kucurahkan ke dalam samudra Muhammad saw. Sebab, beliau adalah sumber semua keutamaan, dan beliaulah yang berhak menerima semua pujian. Jadi, jika sepeninggal beliau ada manusia yang layak dipuji, maka sesungguhnya pujian itu kembali kepadanya. Adapun setan, ia adalah sumber segala keburukan dan kehinaan. Karena itu setiap kecaman dan celaan terhadap keburukan akan terpulang kepadanya, sebab setanlah penyebab pertama terjadinya keburukan dan kehinaan.”

Beliau tak pernah bergantung pada makhluk dan selalu mencukupkan diri hanya dengan Allah. “Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan dan karunia Allah. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah kedermawanan-Nya.” Beliau juga berkata, “Aku tidak melihat ada yang benar-benar memberi, selain Allah. Jika ada seseorang memberiku sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan kedudukannya di sisiku, karena aku menganggap orang itu hanyalah perantara saja.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar